PEMBAHASAN
Pendidikan secara umum adalah setiap sesuatu yang mempunyai pengaruh dalam
pembentukan jasmani seseorang, akalnya dan akhlaqnya, sejak dilahirkan hingga
dia mati. Atau usaha sadar seorang pendidik kepada peserta didik dalam melatih,
mengajar berbagai ilmu pengetahuan (Civic Education Society; 2002).
Pendidikan ini
juga diatur dalam syari’at Islam dalam surat Al-Qashas: 77 sebagai berikut:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.”[1]
Education (pendidikan) dan jiwa keagamaaan sangat terkait, karena
pendidikan tanpa agama ibaratnya bagi manusia akan pincang. Sedang jiwa
keagamaan yang tanpa melalui menegemant pendidikan yang baik, maka juga akan
percuma. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam
upaya menanamkan rasa keagamaan pada seseorang.
A. Pendidikan
Keluarga.
Barang kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan.
Anak-anak pada masa bayi sampai sekolah memiliki lingkungan tunggal, Yaitu keluarga.
Makanya tidak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang
dimiliki anank-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak
bangun dari tidur hingga saat akan tidur kembali, Anak-anak menerima pengaruh
dan pendidikan keluarga(Gilbert Highest, 1961:78).[2]
Bayi yang baru lahir merupakan
mahluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh bebagai kemampuan yang
bersifat bawaan, Disini terlihat oleh berbagai aspek yang kontradiktif. Disatu
pihak bayi bayi berada dalam kondisi tanpa daya, Sedang dipihak lain bayi
mempunyai kemampuan untuk berkembang (exploratif). Tetapi menurut Walter
Houston Clark, Perkembangan bayi tidak dapat berlangsung secara normal tanpa
adanya interfensi dari luar, Walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan.
Seandai nya bayi dalam pertumbuhan dan perkembangan nya hanya diharapkan
menjadi manusia normal sekalipun, Maka ia memerlukan berbagai persyaratan
tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W.H.CLrak,1964:2).[3]
Dua ahli psikologi prancis bernama Itar dan Sanguin pernah meniliti
anak-anak asuhan srigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh
sekelompok srigala disebuah gua, Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah
berusia kanak-kanak. Namun, Kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan
yang seharus nya dimiliki manusia pada usia kanak-kanak. Tak seorangpun
diantara keduanya mampu mengucapakan kata-kata, kecuali aungan sekor srigala.
Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dngan cera menjilat. Dan terlihat
pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing menyrupai taring srigala.
Setelah dikembalikan kelingkungan masyarakat mnusia, ternyata kedua anak-anak
hasil asuhan srigala tak dapat menyesuikan diri, dan akhir nya mati.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, Baik dalam bentuk
pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap massa depan perkembangan
seorang anak. Meskipun seorang anak /bayi manusia yang dibekali sebuah potensi
kemanusiaan, Namun dilingkungan pemeliharaan srigala tersebut potensi tidak
berkembang.
Kondisi seperti itu tampak nya
menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, Pengawasan dan bimbingan yang
serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangan dapat berjalan baik dan
benar. Manusia memang bukan mahkluk yan instintik secara utuh, Sehingga ia tidak mungkin
berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuh nya. Makanya menurut W.H.
Clrak, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu pengawasan serta
pemeliharaan terus menerus sebagai latihan dasar dalam pembentukan dasar dalam
pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki
kemungkinanuntuk berkembang secara wajar dalam kehidupan dimassa depan.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama
dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalh pendidik kodrati.
Mereka pendidik bagi ank-anaknya karena
secara kodrat ibu dan ayah diberikan anugerah oleh Tuhan pencipta berupa naluri
orang tua. Karena naluri ini, timbul kasih sayangpara orang tua terhadap anak
mereka, sehingga secara moral kedua nya merasa terbeban tanggung jawab untuk
memelihara, mengawasi , melindungi,
serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur
kejiwaan sehingga sulit diidentifikasi secara jelas, karena masalah menyangkut
kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui
fungsi-fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut, Agama terjalin dan terlibat
didalam nya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama
itu berkembang. Dalam kaitan pula itulah terlihat peran pendidikan
keluarga,dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak, Maka. Tak mengheran kan
jika Rosul menekan kan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.
Dalam al-quran maupun hadist telah dijelaskan bahwa:
1.
Dalam surat At Tahrim ayat 6
dikemukakan “hai orang-orang yang beriman, peliharalah dan keluargamu dari api
neraka
2.
Nabi SAW bersabda “setiap anak yang
dilahirkan berada dalam keadaan fitrah maka kedua orang tuanya lah yang
meyahudikan, menasranikan atau memajusikannya.[4]
B. Pendidikan
Kelembagaan.
Di masyarakat primitif lembaga
pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik dilingkungan
keluarga dan masyarakat lingkungan nya. Pendidik secara kelembagaan memang belum
diperlukan, karena fariasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak
dilahirkan dilingkungan keluarga tani, Maka dapat dipastikan ia akan menjadi
petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungan nya. Demikian pula anak
seorang nelayan, Ataupun anak seorang pemburu.
Sebaliknya, dimasyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi
seperti itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyeleraskan diri dengan
perkembangan kehidupan masyarakatnya, Seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan
dengan kepentingan itu, Maka dibentuk lembaga khusus yang menylenggarakn
tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, Secara kelembagaan maka
sekolah-sekolah pada hakikat nya adalah merupakan lembaga pendidikan yang
artifisialis (sengaja dibuat).
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan peranan nya, maka sekolah sebagai
kelembagaan pendidikan adalah pelajud dari pendidikan keluarga. Karena
keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahakn
kesekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan massa depan anak-anak,
terkadang para orang tua sangat efektif dalam menentukan tempat untuk
menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari
keluarga taat beragam akan memasukkan anak-anak nya kesekolah agama. Sebalik
nya, para oarang tua lain lebih mengarahkan anak mereka kesekolah umum. Ataau
sebalik nya orang tua yang mengendalikan anak nya sulit bisa juga para orang
tua memasukkan anak nya ke sekolah Agama
dengan tujuan pembentukan kepribadian yang lebih baik.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau
membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama
dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak
didiknya agar menerima pendidikan agama yang dibarikannya.
Menurut Mc Guire proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap
menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah
adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan
(Djamaluddin Ancol: 40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan
dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sengat tergantung dari kemampuan
para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu:
Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik
perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus
dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang menungkinkan
anak-anak memberikan perhatiannya.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman
kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberkannya. Pemahaman ini
akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas plada kegiatan yag bersifat hafalan
semata.
Ketiga, penerimaan siswa terhadap meteri pendidikan agama
yang diberikan. Plenerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi
dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima
tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri,
antara lain memiliki keahllian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang
sejalan dengan ajaran agama, seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini
akan sangat menetukan dalam mengubah sikap para anak didik.
C. Pendidikan di
Masyarakat.
Masyarakat merupakan lapangan
pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan
pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan anak didik adalah keluarga,
kelembagaan pendidiklan dan lingkungan masyarakat. Kerasian antara ketiga
lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan
anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahi bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang
menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek
mencakup fisik, psikis, moral dan spritual (M.Buchori: 155). Maka menurut
Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi, menurutnya
ada enam aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu,
yaitu:
1.
Fakta-fakta asuhan;
2.
Alat-alatnya;
3.
Regularitas;
4.
Perlindungan; dan
Wetherington memberi contoh mengenai
fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang
berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya
sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya ia mengutip hasil penelitian
Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan
menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tidak dapat disangkal. Dengan demikian
menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan
perubahan-perubahan yang penting dalam perubahan psikis (kejiwaan) dan dalam
suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan
lebih banyak lagi (M.Buchori: 156).
Selanjutnya karena asuhan terhadap perumbuhan anak harus berlangsung secara
teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan
memberikan dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik
akan memberhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan
berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan
pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan
oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini ada pula terlihat
besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang
memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal
saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma
kesopanan pula pada orang lain. (M.Buchori: 157).
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan
nilai-nilaikesopanan atau nilai-nilai yang erkaitan dengan aspek-aspek spritual
akan lebih afektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun
terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini
ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa
nikah (Djamaluddin Ancok: 27). Kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di
lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.[6]
Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sikap masyarakat terhadap
nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barang kali akan lebih
memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat
lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan
demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan.
D. Agama dan
masalah sosial.
Tumbuh dan kesadaran agama (religions cons ciausness) dan pengalaman Agama
(religions experince), ternyata melalui proses yang gradul, tidak sekaligus.
Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkan nya, khususnya
pendidikan. Adapun pendidikan yang berpengaruh, yakni pendidikan dalam
keluarga. Apabila dalam lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan
pendidikan agama, biasanya sulit memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang
memadai.
Pepatah mengatakan : ”Bila anak tidak dididik oleh oarang tuanya, maka ia
akan dididik oleh siang dan malam.” Maksud nya pengaruh lingkungan nya akan
mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan dikota-kota
basar, Anak-anak kehilangan dari hubungan dengan orang tua cukup banyak,
mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian
ataupun karena mereka yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Dalam kesehariaan nya, nanak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok pengamen,
pemulung, pengemis,dan sebagainya. Mengamati linkungan pergaulan nya
sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalalan selain
dapat menimbulkan kerawanan sosial,juga kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan.
Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini tidak memiliki kesempatan
untuk memperoleh bimbingan keagamaan. Bahkan, dikota-kota besar, mereka ini
seakan sudah terbentuk menjadi golongan tersendiri dalm masyarakat, Yakni
masyarakat rentan.
Sebagi masyarakat rentan, golongan ini seakan berada diluar lingkaran
budaya dan tradisi masyrakat umum. Boleh dikatakan mereka mempunyai “budaya”
sendiri yang terbentuk diluar kaidah-kaidah dan nilai yang berlaku atau pola
fikir,kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh).
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap
fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik
dapat terjadi karena kosong nya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang
seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini
dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan
perilaku yang negatif.dengan demikian, mereka akan mudah terprofokasi oleh
sebagi isi yang berkembang.
Dalam kontes ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan.
Demikian organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan
semua kepada pemerintah, bagai manapun bukan sifat yang arif. Kasus anak
jalanan napak nya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi
masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalh keagamaan. Sebagai
aplikasi dari kesadaran agama.
E. Pengaruh
Pendidikan Terhadap Psikologi Agama
Psikologi agama yang mempelajari rasa agama dan perkembangannya mempunyai
peranan yang saling korelatif dalam pendidikan agama islam. Pendidikan islam
sebagi sebuah upaya penyadaran terhadap umat islam akan lebih mudah diterima
oleh masyarakat. Pertumbuhan rasa agama akan semakin meningkat dan juga bisa
dihubungkan dengan kondisi di sekitarnya, baik sosial,ekonomi, politik hukum
dan sebagainya. Peran psikologi agama dalam pendidikan islam lebih memudahkan
pemahaman masyarakat dalam menelaah agama secara komprehensif. Agama tidak
dipandang hanya sebagi kebutuhan orang-orang tertentu, tapi agama memang
menjadi kebutuhan setiap pribadi seseorang yang menjadikan perkembangan pribadi
secara psikisnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulakan bahwa Pendidikan agama dalam pendidikan islam sangatlah penting
sekali, sebab dengan adanya pendidikan agama, manusia akan lebih dekat dengan
Tuhan, dan keimanan mereka akan semakin kuat. Pendidikan sangatlah
berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, khususnya dalam
pembentukan pribadi atau pembentukan watak. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka akan semakin baik tingkat kecerdasan dalam melaksanakan ibadah kepada
Allah yang maha esa. oleh karena itu pengaruh pendidikan terhadap jiwa
keagamaan sangatlah penting untuk diketahui guna untuk menanamkan rasa
keagamaan pada seorang anak didik. Diantara pengaruhnya adalah pendidikan keluarga,
pendidikan kelembagaan dan pendidikan di masyarakat.
B. Saran
Kita semua harus pandai dalam memilih dan menelaah pendidikan yang kita
peroleh, agar jiwa keagamaan kita dapat berkembang dengan baik dan sesuai
dengan syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ashraf, Horison. 1993. Baru Pendidikan Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus
Prof.Dr.H Jalaludin.Psikologi Agama (edisi
revisi 2004). rajawali Pers: Jakarta.
Jalaludin.
2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajawali Grafindo
Amin, Syamsul Munir. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah. 2010Mujib, Abdul. Nuansa-Nuansa Psikologi Islami. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002
Prof.Dr.H Jalaludin.Psikologi Agama (edisi
revisi 2002). Rajagrafindo persada Pers: Jakarta.
[1] Al Quran
Surat Al-Qashas: 77
[2]
Jalaluddin. 2002.Psikologi Agama.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Hal.211
[3]
Jalaluddin. 2002.Psikologi Agama.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Hal.211
[4] Yusuf
Syamsu,2004.psikologi perkembangan anak ramaja.Bandung:PT Remaja rosdakarya
offset
[5] Ali Ashraf, Horison. 1993. Baru Pendidikan Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus.hal 34
[6] Jalaludin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT
Rajawali Grafindo
informsi yang menarik dan bermanfaat sekali nih gan...
BalasHapusdi tunggu info selanjutnya, thanks
terus psting info2 yg bermanfaatnya gan
BalasHapussenang bisa berkunjung ke blog anda
terimakasih banyak