Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terima kasih anda sudah berkunjung di Website KREASI | Sebuah Kreasi yang mencoba memberikan pengetahuan untuk melangkah dalam masa depan yang Gemilang | Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Anda |

Senin, 07 Mei 2012

Pengumpulan Qur’an dan arti penulisannya pada masa Nabi

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, ‘ubai bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itumembantu penghafalan didalam hati. Sebagian sahabatmenuliskan Qur’an yang itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi, mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit berkata; “kami menyusun Qu’ran dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.” Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut.

Para ulama telah menyampaikan bahwa golongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Talib, Mu’az bin Jabal, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafal seluruh isi Qur’an dimasa Rasulullah dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an dihadapan Nabi diantara mereka yang disebutkan diatas.
Setiap surat berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu Mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun segeralah dihafal oleh para Qurra dan ditulis oleh para penulis, tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu Mushaf, sebab Nabi masih selalu menenti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib Nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi. Az-Zarkasyi berkata: Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an selesai turun semuai, yaitu dengan wafatnya Rasulullah”.
Dengan pengertian inilah ditafsirkan bahwa “Rasulullah telah wafat, sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dan surat-suratnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu Mushaf. Al-Khattabi berkata: “Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu Mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan: a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama

v  Pengumpulan Qur’an pada masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 Hijriyah melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh dari Qarri dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangn Yamamah telah membunuh para Qarri.
Abu Bakar menolak usulan ini dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memrintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam Qira’at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Kemudian Zaid bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para Qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 Hijriyah, lembaran-lembaran itu berpindah ditangan Umar dan tetap berada ditangannya hinngga ia wafat. Kemudian Mushaf itu berpindah ketangan Hafsah, Putri Umar, Zaid bin Sabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yammah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata: “Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yammah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra, dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi ditempat-tempat lain, sehingga sebagian Qur’an akan segera musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Qur’an.” Pada saat itu Zaid bin Sabit bertindak sangat hati-hati dan teliti. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai tulisan.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan. “Umar datang lalu berkata : ‘Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menulis Qur’an itu pada lembaran kertas, papan kayu, dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Ini menunjukan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran9langsung dari Rasul). Setelah selesai Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahyang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Qur’an dalam satu Mushaf dengan cara seperti ini, disamping itu terdapat juga Mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat,sepertu mushaf Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn Mas’ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan.

v  Pengumpulan Al Qur’an pada masa Usman
Pada masa Usman, penyebaran Islam bertambah luas dan para Qurra pun tersebar diberbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari Qira’at (bacaan) dari Qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (Qira’at) Qur’an yang mereka bawakan berbede-beda. Sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Qur’an diturunkan. Meskipun cara pembacaan (Qira’at), Qur’an disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi masih muncul kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga dapat menimbulkan perbedaan cara pembacaannya bahkan pertentangan dan permusuhan.
Seperti yang terjadi ketika perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak. Diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman yang melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an. Sebagian bacaan masih terdapat kesalahan namun dari masing-masing masih mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera manghadap dan melaporkan kepada Usman apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa perbedaan itu akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qira’at kepada anak-anak.
Kemudian Usman mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjamkan Mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Setelah Mushafnya didapat, Usman memanggil Usman bin Sabit Al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Untuk menyalin dan memperbanyak Mushaf serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisi ditulis dalam bahasa Quraisi, karena Qur’an turun dalam bahasa Quraisi. Ketika penlisan Mushaf telah selesai, khalifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang isinya: “Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku,maka hapuskanlah apa yang ada padamu.”
Suaid bin Gaflah berkata: “Ali mengatakan; katakanlah yang segala yang baik tentang Usman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mangenai Mushaf-Mushaf Qur’an sudah atas persetujuan kami.” Usman berkata; bagaimana pendapatmu tentang Qira’at ini ? saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa Qira’atnya lebih baik dari Qira’at orang lain. Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata : bagaimana pendapatmu ? ia menjawab : aku berpendapat agar manusia bersatu pada Mushaf, sehingga tidak lagi terjadi perpecahan dan perselisihan. Kami berkata : baik sekali pendapatmu itu.”
Keterangan ini menunjukan bahwa apa yang dilakukan Usman telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-Mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari 7 huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang berstu dalam satu Qira’at. Setelah penulisan Mushaf-Mushaf tersebut selesai, Usman segera mengembalikan kembali lembaran-lembaran/Mushaf yang Asli kepada Hafsah, lalu Mushaf-Mushaf dikirimkannya kesetiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu Mushaf untuk Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Penamaan Mushaf Imam disesuaikan dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan: “ Bersatulah wahai sahabat- sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (Mushaf Qur’an pedoman). Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran/Mushaf yang selesai itu. Umat pun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana.


v Perbedaan antara pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar dengan Usman
Pengumpulan Mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan oleh Usman dalam motif dan caranya. Ibnu Tin dan yang lainnya mengatakan: “Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dengan pengumpulan Usman ialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul di satu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka. Sedang pengumpulan Qur’an pada masa Usman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal Qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dan ini menyebabkan timbulnya sikap yang saling menyalahkan. Karena khawatir akan timbul “bencana”, Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu kedalam satu mushaf dengan menertibkan /menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (Quraisy),sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja. “Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: ‘Yang masyhur dikalangan orang banyak ialah bahwa pengumpulan Qur’an itu Usman. Padahal sebenarnya tidak demikian; Usman hanyalah berusaha menyatikan umuat pada satu macam (wajah) qiraat. Itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum Muhajirin dan kaum Ansar yang hadir dihadapannya, serta setelah ada ke khawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi antara penduduk Irak dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf tersebut dibaca dengan berbagai qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Siddiq. Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindari timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman. Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.

v  Keraguan yang harus di tolak
Ada beberapa keraguan yang ditiupkan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap qur’an dan kecermatan pengumpulannya. Disini kami akan kemukakan beberapa hal yang penting diantaranya dan kemudian menjawabnya.
      Mereka berkata, sumber-sumber lama (asaar) menunjukan bahwa ada beberapa bagian Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada ditangan kita ini. Sebagai bukti (dalil) dikemukakannya: “Aisyah berkata : ‘Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca Qur’an di masjid , lalu katanya : ‘semoga Allah mengasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayat-ayat qur’an dari surah....’ dalam riwayat lain dikatakan : ‘Aku telah menggugurkannnya dari ayat .... dan ....’ Dan ada lagi riwayat yang mengatakan ‘Aku telah dibuat lupa olehnya’.
      Argumen ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rasulullah akan satu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keraguan dalam hal pengumpulan Qur’an karena riwayat yang mengandung ungkapan “menggugurkan” itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, “aku telah dibuat lupa terhadapnya” (kuntu unsituha). Ini menunjukan bahwa yang dimaksud menggugurkannya adalah lupa, sebagaimana ditunjukan pula oleh kata-kata “telah mengingatkan aku”. Kelupaan itu bisa saja terjadi pada Rasulullah dalam hal yang tidak  merusak tabligh. Disamping itu ayat-ayat tersebut telah dihafal Rasulullah, dicatat oleh para penulis wahyu serta dihafal oleh para sahabat-sahabatnya. Hafalan dan Pencatatan yang dialami Rasulullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan (ketelitian) dalam pengumpulan Qur’an. Inilah maksud hadis diatas.
      Syaikh Muhammad mengemukakan dalam menafsirkan surat al-Anbiya’[21]:23 “ Oleh karena janji itu dituangkan dalam ungkapan yang menunjukan keharusan dan kekal, sehingga terkadang memberi kesan bahwa kekuasaan Allah tidak meliputi yang selain itu., dan bahwa yang demikian dipandang telah keluar dari kehendak-Nya, kecuali kalau Allah menghendaki. Sebab, jika Dia berkehendak membuatmu (Muhammad) lupa terhadap sesuatu , tak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan kehendakNya.
      Dengan demikian, maka yang dimaksudkan disini adalah “peniadaan kelupaan secara total”. Mereka mengatakan :pengertian demikian seperti halnya perkataan seseorang terhadap sahabatnya:’ engkau berbagi dengan ku dalam apa yang aku miliki, kecuali kalau Allah menghendaki.” Dengan perkataan ini ia tidak bermaksud mengecualikan sesuatu, karena ungkapan demikian sedikit sekali atau jarang dipergunakan untuk menunjukan arti nafi(negatif). Dan seperti ini pulalah maksud pengecualian dalam firmannya pada surat Hud: adapun orang-orang yang berbahagia, tempat mereka dalam surga, mereka kekal didalamnya selama ada langit dan bumi. Kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (Hud : [11]:108)  . Pengecualian seperti ini untuk menunjukan bahwa pengabadian dan pengekalan itu semata-mata karena kemurahan dan keluasan karunia Allah, bukan keharusan dan kewajiban bagi-Nya. Dan bila Ia berkehendak untuk mencabutnya, maka tidak ada seorang pun dapat meng halangi.
      Mereka mengatakan dalam Qur’an terdapat sesuatu yang bukan Qur’an. Untuk pendapatnya ini mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Mas’ud mengingkari surah an-Nas dan al Falaq termasuk bagian dari Qur’an. Terhadap pendapat ini dapat diajukan jawaban sebagai berikut, yaitu bahwa riwayat yang diterima dari Ibn Mas’ud itu tidak benar, karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-Nawawi mengatakan dalam Syarh al-Muhazzab: “kaum muslimin sepakat bahwa kedua surat (an-Nas dan al-Falaq) itu dan surat Fatihah termasuk qur’an. Dan siapa sja yang mengingkarinya, sedikitpun, ia adalah kafir. Sedangkan riwayat yang diterima dari Ibn Mas’ud adalah batil, tidak sahih.” Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut nerupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama (terhadap) Ibn Mas’ud.
      Segolongan Syi’ah ekstrim menuduh bahwa Abu Bakar, Umar dan Usman telah mengubah Qur’an serta menggugurkan beberapa ayat dan suratnya. Mereka (Abu Bakar cs.) telah mengganti dengan lafal ummatun hiya arba min ummatin – “satu golongan yang lebih bannyak jumlahnya dari golongan yang lain” (an-Nahl [16]:92), yang asalnya adalah : a’immatun hiya azzka min a’immatikum-“ imam-imam yang lebih suci daripada imam-imam kamu” , mereka juga menggugurkan dari surat Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan” Ahlul Bait” yang panjangnya sama dengan surat al-An’am, dan menggugurkan pula surat mengenai kekuasaan (al-Wilayah) secara total dari Qur’an
      Terhadap golongan ini dapat dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannya merupakan satu kebodohan. Selain itu, sebagian ulama Syi’ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang mereka jadikan tumpuan (Tasyayyu’) bertentangan dengan hal tersebut dan bahkan menunjukan terjadinya kesepakatan (ijma’) mengenai kemutawatiran Qur’an yang tertulis dalam mushaf. Diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan Qur’an oleh Abu Bakar: “manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah orang yang pertama mengumpulkan kitabullah. “ Ali juga mengatakan berkenan dengan pengumpulan Qur’an oleh Usman : “ wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah jauhilah sikap berlebihan ( bermusuhan ) terhadap Usman dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar mushaf. Demi Allah, ia membakarnya berdasarkan persetujuan kami, sahabat-sahabat Rasulullah.” Lebihlanjut ia mengatakan: “ seandainya yang menjadi penguasa pada masa Usman adalah aku, tentu akupun akan berbuat terhadap mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Usman.”
      Apa yang diriwayatkan dari Ali sendiri ini telah membungkam para pendusta yang mengira bahwa mereka adalah para pembela Ali, sehingga mereka berani berperang untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui karena kefanatikannya yang membuta kepada Ali, sedang Ali sendiri lepas tangan dari mereka.

Referensi :
      Manna Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
      Jakarta. Litera antar Nusa: 2001

0 komentar:

Tinggalkan Komentar Anda

Silakan berkomentar dengan baik dan sopan. Untuk berkomentar anda bisa gunakan format di bawah ini.
Format untuk komentar:
1. Pilih profil sebagai Name/URL
2. Isikan nama anda
3. Isikan URL (Blog/Website/Facebook/Twitter/Email /Kosongkan)
4. Isikan komentar
5. Poskan komentar